Seminar Nasional Rangkaian Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 Sesi 2

Gresik - Rangkaian Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah ke-31 masih berlanjut. Pada Minggu (13/12), berlangsung Seminar Nasional sesi 2 sebagai rangkaian kegiatan Munas yang akan diakhiri pada tanggal 20 Desember 2020 ini. Kegiatan ini masih dilakukan secara daring, seperti sebelumnya, dengan menggunakan aplikasi Zoom yang diikuti oleh peserta undangan kegiatan Munas Tarjih Muhammadiyah. Namun publik juga dapat menyaksikan seminar nasional sesi 2 ini melalui live streaming pada kanal resmi Universitas Muhammadiyah Gresik dan juga TvMu. 

munas_baru (3).jpeg (128 KB)

Pada Seminar Nasional Sesi 2 ini terdapat tiga narasumber yang menyampaikan materi. Narasumber tersebut yakni Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar, serta Prof. Dr. Didik J. Rachbini. Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Hasan Basri, M.Pd.I., yang merupakan Wakil Rektor III Universitas Muhammadiyah Gresik. Adapun tema yang diangkat masih sama dengan kegiatan Seminar Nasional sesi pertama pada Sabtu (05/12) yang lalu, yakni “Moderasi Keberagamaan dalam Konteks Indonesia Berkemajuan”, namun dari sisi perspektif yang berbeda. Jika pada sesi I yang lalu perspektif yang diangkat adalah dari perspektif sejarah, politik serta filsafat sosial, para narasumber pada sesi 2 ini mengangkat tema dari  Moderasi Keberagamaan dari perspektif budaya dan pendidikan, hukum Islam, serta dari perspektif ekonomi.

Pada seminar ini, Prof. Dr. Azyumardi Azra menyampaikan materi terkait dengan moderasi keberagamaan dalam perspektif budaya dan pendidikan. Dalam keterkaitan dengan moderasi keberagamaan, Prof. Azyumardi menyampaikan bahwa dalam Muhammadiyah sebetulnya sudah menganut hal ini, namun dengan istilah yang lain. Menurutnya, sebagai organisasi dengan distingsi ‘Islam berkemajuan’, salah satu dari subyek kajian tentang Islam Indonesia yang paling banyak dikaji baik oleh sarjana dan peneliti dalam dan luar negeri, Muhammadiyah sejak kelahirannya sudah menampilkan moderasi beragama.

munas_baru (2).jpeg (190 KB)

Lebih lanjut, di bidang pendidikan, Prof. Azyumardi menyebutkan bahwa Muhammadiyah selalu menyerukan dan menghimbau agar selalu kembali ke al-Qur’an dan hadist. Meskipun dalam prakteknya masih ada kelompok-kelompok yang memaknai ini sebagai praktek agama yang bersifat harfiah seperti misal harus berpakaian dan berperilaku seperti masa sahabat Nabi, yang mana orientasinya menjadi mundur, Muhamamdiyah tidak seperti itu. Menurut Prof. Azyumardi, Muhammadiyah lebih ke arah modern, baik secara substansi maupun pengelolaan.

Sebagai salah satu contohnya adalah Muhammadiyah membangun dan mengembangkan apa yang disebut sebagai ‘Dutch-based Islamic schooling system and institutions’, ‘modern-based Islamic preaching approaches’ dan ‘modern-based social services’. Yang mana Muhammadiyah memperkenalkan pembelajaran agama pada model pembelajaran Benda dimasa itu yang masih menggunakan sistem sekuler. Dengan mengambil model pembelajaran seperti ini, maka Muhammadiyah berhasil memajukan pendidikan di Indonesia dengan memasukkan unsur keagamaan dan dapat diterima.

Menurut Prof. Azyumardi, ‘Islam berkemajuan’ adalah Islam Muhammadiyah, yakni Islam tengahan dengan orientasi kembali kepada al-Qur’an dan hadits dengan menolak bid’ah, khurafat dan takhyul. Dengan paradigma dasar ini, Muhammadiyah menekankan moderasi keagamaan dan moderasi beragama ketika Muhammadiyah melakukan tajdid, dengan menggunakan dakwah, pendidikan, dan penyantunan sosial untuk membawa kaum Muslim kepada Islam yang bersih

Prof. Dr. Al Yasa’ Abubakar, selaku pembicara kedua menyampaikan moderasi keberagamaan dalam perspektif hukum Islam. Menurut Prof. Yasa’, yang juga merupakan dosen UIN Ar-Raniry ini, pembaruan menurut Islam memiliki dua makna. Yang pertama merupakan upaya untuk menyesuaikan pemahaman atas al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan pengetahuan ilmiah dan teknologi. Dan yang kedua adalah mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah. 

munas_baru (4).jpeg (121 KB)

Meskipun sama-sama ingin mengembalikan Islam pada Islam yang murni, Prof Yasa’ menyebutkan bahwa Muhammadiyah dan Salafiah memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Diantaranya adalah Salafiah lebih berorientasi ke masa lalu, sedangkan Muhammadiyah lebih berorientasi ke masa depan. Salafiah cenderung meniru adat Arab, baik dari perilaku maupun cara berpakaian, sedangkan Muhammadiyah tidak terpengaruh oleh budaya lokal Arab. Salafiah pun cenderung untuk menolak organisasi dan lembaga modern, sedangkan Muhammadiyah sangat menerima dan dapat memanfaatkan organisasi dan lembaga modern.

Maka Prof. Yasa’ menyebutkan bahwa pembaharuan paham agama di lingkungan Muhammadiyah adalah melalui Tanqih dan Tajdid. Tanqih yakni pemurnian, baik pada bidang akidah dan ibadah mahdhah. Tajdid merupakan pembaharuan dibidang muamalah dunyawiyyah atau ibadah ghayr mahdhah, termasuk didalamnya pengembangan al-hukm al-syar’I menjadi prinsip dan hukum konkrit. 

Prof. Dr. Didik J. Rachbini, pembicara ketiga pada kegiatan seminar nasional sesi 2 ini membahas terkait moderasi keberagamaan melalui perspektif ekonomi. Prof. Didik mengungkapkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam kelompok negara dengan kesenjangan tertinggi di dunia bersama Rusia, Thailand, Amerika. Adapun alasan mengapa kesenjangan ekonomi masih terjadi di Indonesia adalah karena implementasi demokrasi, baik demokrasi politik dan demokrasi ekonomi di Indonesia masih belum sepenuhnya inklusif, sehingga ancamannya adalah munculnya instabilitas sosial politik. Prof. Didik menyebutkan bahwa hingga Januari 2014, sebanyak 318 dari 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Hal ini menjadi pertanda bahwa proses inklusifitas institusi politik di Indonesia belum terjadi dalam arti yang sesungguhnya. Prof. Didik menyampaikan bahwa praktek money politik masih terjadi secara masif sebagai jembatan menuju praktek korupsi kepala daerah terpilih. 

munas_baru (1).jpeg (128 KB)

Lalu bagaimana strategi Muhammadiyah dalam menghadapi hal ini? Prof. Didik menyebutkan ada beberapa strategi yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Yang pertama adalah strategi Al Maun, yang mana sudah 100 tahun dijalankan oleh Muhammadiyah. Namun tidak boleh terbatas pada hal yang kecil, tapi harus bergeser pada strategi yang lebih luas. Yang kedua adalah 9 dari 10 rejeki adalah berdagang, wirausaha, industri, inovasi, dan lainnya. Selain itu porsi strategi perkembangan perlu bergeser kearah yang lebih besar lagi. Menurut Prof. Didik, level bawah saat ini sudah mulai dikerjakan oleh pemerintah BLT, BPJS, raskin, dan lainnya dengan dana menggunakan dana APBN yang cukup besar. 

Untuk menyaksikan penjelasan pembicara dalam Seminar Nasional sesi 2 pada rangkaian kegiatan Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 dapat melalui link dibawah ini:
https://www.youtube.com/watch?v=HrUjo_qtD0A

(Humas UMG)