Oleh: Rahmat Dwi Sutrisno, S.ST., M.T. – Pakar Struktur Universitas Muhammadiyah Gresik (UM Gresik)
Tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo bukan sekadar berita duka, melainkan cermin buram dari lemahnya kesadaran kita terhadap kaidah keselamatan konstruksi. Sebagai seorang akademisi dan praktisi di bidang teknik sipil, saya melihat peristiwa ini bukan semata kegagalan material, melainkan kegagalan sistemik — teknis, administratif, dan moral.
Dari hasil analisis terhadap foto dan laporan awal, terlihat jelas bahwa penambahan lantai tanpa perencanaan struktural yang matang menjadi biang utama. Bangunan yang semula hanya dirancang menahan beban dua lantai, “dipaksa” menanggung beban baru tanpa perkuatan kolom dan balok yang sesuai. Inilah akar dari kegagalan struktur total yang kemudian menimbulkan efek berantai hingga seluruh bangunan runtuh.
Laporan Basarnas pun menunjukkan pola keruntuhan “pancake collapse”, yakni ketika setiap lantai ambruk menimpa lantai di bawahnya — seperti lapisan kue yang jatuh bertumpuk. Fenomena ini umum terjadi bila kolom penyangga tak lagi mampu menahan beban vertikal akibat kelebihan beban (overloading) dan kondisi soft story, di mana lantai bawah memiliki kekakuan jauh lebih lemah dibanding lantai di atas.
Sayangnya, hal seperti ini bukan kasus baru di Indonesia. Dari gedung bertingkat hingga rumah susun, dari jembatan hingga stadion, kita sering kali melihat pola kesalahan yang sama: abaikan kaidah teknis, lewati prosedur administratif, lalu berharap semuanya baik-baik saja. Padahal, dalam dunia konstruksi, setiap kelalaian bisa berharga nyawa.
Kita sering mendengar alasan klasik: “cuma tambah satu lantai, tidak masalah.” Tapi di balik satu keputusan sederhana itu, ada hitungan gaya, momen lentur, dan kapasitas kolom yang berubah signifikan. Tanpa perhitungan ulang, struktur yang semula stabil bisa berubah menjadi jebakan maut.
Lebih dari sekadar pelanggaran teknis, ini juga masalah moralitas profesi. Seorang insinyur sejatinya bukan hanya pembuat rancangan, tetapi juga penjaga keselamatan publik. Ketika izin bangunan diabaikan, standar SNI dilanggar, dan pengawasan dilakukan setengah hati, maka yang hilang bukan hanya beton dan baja, tapi juga nurani.
Di kampus, kami di Universitas Muhammadiyah Gresik (UM Gresik) selalu menekankan tiga nilai utama dalam pendidikan teknik: Unggul, Mandiri, dan Islami. Unggul dalam kompetensi dan keilmuan, mandiri dalam berpikir serta bertindak profesional, dan Islami dalam menjunjung tinggi amanah serta tanggung jawab sosial. Karena setiap rancangan bukan sekadar karya teknik, melainkan bentuk ibadah dan pelayanan terhadap kehidupan manusia.
Tragedi di Sidoarjo ini harus menjadi wake-up call bagi seluruh pihak — perencana, kontraktor, pemilik bangunan, hingga pemerintah daerah — untuk kembali taat pada kaidah dan nurani konstruksi. Bangunan tidak boleh berdiri di atas asumsi, tetapi harus bertumpu pada perhitungan yang sahih dan izin yang sah.
Keselamatan publik bukan angka dalam dokumen perencanaan. Ia adalah amanah yang melekat pada setiap garis gambar dan setiap adukan beton yang kita buat. Karena pada akhirnya, dalam setiap bangunan yang berdiri, tersimpan bukan hanya besi dan semen, tapi juga kehidupan manusia yang wajib kita jaga dengan penuh tanggung jawab.