RUU Perampasan Aset dalam Perspektif Islam: Antara Keadilan dan Maqāṣid al-Sharī’ah

Oleh: Dr. Mohammad Ahyan Yusuf Sya’bani, S.Pd.I., M.Pd.I.

Kepala Biro Pengkajian Dan Pengembangan Al-islam Dan Kemuhammadiyahan, Universitas Muhammadiyah Gresik (UM Gresik)

Pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) perlu ditempatkan dalam kerangka hukum normatif Indonesia sebelum dilihat dari perspektif Islam. Hal yang sering memicu perdebatan adalah istilah perampasan aset, yang sekilas terkesan keras. Padahal, secara hukum, istilah ini berbeda dengan penyitaan. Penyitaan bersifat sementara, di mana barang milik seseorang dilepaskan dari penguasaan untuk keperluan pembuktian di pengadilan. Jika kemudian terbukti ada unsur pidana, maka barulah harta tersebut dirampas dan diserahkan kepada negara melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Dalam Islam, kasus serupa dapat dijelaskan dengan konsep ghasab, yaitu penggunaan harta orang lain tanpa izin. Dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili ditegaskan:

...وأما الملكية غير المشروعة فيجوز للدولة التدخل في شأنها لرد الأموال إلى صاحبه

“Adapun kepemilikan yang tidak sah, maka negara berhak untuk campur tangan demi mengembalikan harta tersebut kepada pemilik yang sah.”

Artinya, kepemilikan ilegal dapat diambil kembali oleh negara sebagai bentuk perlindungan terhadap hak pemilik yang sah. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad SAW:

ومن خرج بشيء منه فعليه غرامة مثليه والعقوبة

“Barang siapa yang mengambil barang milik orang lain, maka wajib mengembalikan dua kali lipat dan dijatuhi hukuman.” (HR. an-Nasai).

Hadis ini mempertegas bahwa Islam tidak hanya menekankan pengembalian hak, tetapi juga penjatuhan hukuman sebagai efek jera bagi pelaku.

Dalam perspektif fikih anti-korupsi, perampasan aset dapat dipandang sebagai bagian dari upaya ganti rugi terhadap korban sekaligus hukuman yang memberi efek jera. Dengan demikian, perampasan aset bukan semata-mata tindakan represif, tetapi juga instrumen pemulihan keadilan.

RUU PA, bila dipahami melalui kacamata Islam, setidaknya mengandung empat unsur kemaslahatan:

  1. Mengembalikan hak pemilik sah.

  2. Menjaga barang yang digunakan tanpa izin agar tidak rusak atau hilang.

  3. Mengganti kerugian korban agar tidak menanggung beban ganda.

  4. Memberi hukuman kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatan serupa.

Unsur-unsur tersebut memperlihatkan bahwa gagasan RUU PA sejatinya selaras dengan prinsip keadilan Islam.

RUU Perampasan Aset juga dapat dibaca sebagai bagian dari upaya menegakkan maqāṣid al-sharī’ah—tujuan utama syariat Islam, yakni menjaga agama (hifz ad-dīn), menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz al-‘aql), menjaga keturunan (hifz al-nasl), dan menjaga harta (hifz al-māl). Dalam konteks ini, perampasan aset hasil tindak pidana jelas merupakan bentuk penjagaan terhadap harta (hifz al-māl) dan instrumen untuk menegakkan keadilan.

Kesimpulannya, RUU Perampasan Aset sejalan dengan prinsip dasar Islam tentang keadilan dan perlindungan hak. Negara wajib menegakkan hukum kepada siapa pun tanpa pandang bulu, baik pejabat, pengusaha, maupun rakyat biasa. Keadilan hanya dapat ditegakkan apabila aparat hukum memiliki integritas, profesionalitas, dan konsistensi. Dengan begitu, RUU ini bukan sekadar instrumen hukum formal, melainkan juga wujud nyata dari upaya menegakkan nilai-nilai Islam dalam ranah keadilan sosial.