Oleh: Sutrisno Adi Prayitno, S.TP., M.P.
Ahli Gizi dan Teknologi Pangan, Universitas Muhammadiyah Gresik
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka merupakan kebijakan strategis nasional yang memiliki orientasi jangka panjang terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Program ini berpijak pada kesadaran bahwa pembangunan manusia unggul tidak mungkin terwujud tanpa fondasi gizi yang kuat sejak usia dini.
Dari perspektif human capital, MBG dapat dipandang sebagai investasi sosial dan ekonomi. Asupan gizi yang memadai berpengaruh langsung terhadap kemampuan kognitif, daya tahan tubuh, serta produktivitas individu di masa depan. Oleh karena itu, MBG bukan sekadar program makan gratis, tetapi sebuah strategi pembangunan manusia yang berbasis bukti (evidence-based human development).
Secara ilmiah, berbagai penelitian menunjukkan adanya hubungan erat antara asupan mikronutrien, protein, dan zat besi dengan perkembangan otak serta konsentrasi belajar anak usia sekolah. Melalui intervensi gizi yang tepat, MBG berpotensi mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 2 (Zero Hunger) dan poin 4 (Quality Education), yaitu menciptakan generasi yang sehat, cerdas, dan siap bersaing.
Selain aspek kesehatan, MBG juga mencerminkan pendekatan kebijakan lintas sektor yang melibatkan Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, serta pemerintah daerah. Kolaborasi antarsektor ini penting agar kebijakan gizi terintegrasi dengan sistem pendidikan dan kesejahteraan sosial. Program serupa di berbagai negara — seperti National School Lunch Program di Amerika Serikat dan Midday Meal Scheme di India — terbukti mampu meningkatkan partisipasi sekolah dan status gizi anak.
Namun, keberhasilan MBG di Indonesia sangat bergantung pada kesiapan struktur pendukungnya. Perbedaan infrastruktur antarwilayah, kapasitas fiskal daerah, hingga kualitas bahan pangan menjadi tantangan nyata di lapangan. Konsistensi distribusi, mutu makanan, serta sistem pengawasan gizi perlu diperkuat agar program ini memberikan dampak yang terukur. Untuk itu, monitoring dan evaluasi berbasis data menjadi kunci penting dalam memastikan efektivitas pelaksanaan program.
Lebih dari sekadar intervensi gizi, MBG juga memiliki dimensi sosial-ekonomi yang signifikan. Dengan memanfaatkan bahan pangan dari petani dan UMKM lokal, MBG dapat menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi daerah serta memperkuat kemandirian pangan nasional. Keterlibatan masyarakat lokal sebagai penyedia bahan pangan dan pengelola dapur gizi akan menciptakan rantai pasok yang berkelanjutan dan menumbuhkan ekonomi perdesaan.
Untuk menilai keberhasilannya, beberapa indikator multidimensi dapat digunakan, seperti peningkatan status gizi anak (BMI menurut usia, kadar hemoglobin, dan prevalensi stunting), peningkatan kehadiran dan konsentrasi belajar siswa, serta penurunan angka gizi buruk di wilayah sasaran. Jika indikator-indikator tersebut menunjukkan tren positif, MBG dapat dinyatakan sebagai program sosial yang efektif dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, keberhasilan MBG tidak hanya diukur dari jumlah anak yang menerima manfaatnya, tetapi juga dari perubahan paradigma bangsa terhadap pentingnya gizi dalam membangun masa depan. Gizi yang baik bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi fondasi peradaban untuk mewujudkan generasi emas Indonesia.