Membaca Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara

Oleh: Dr. Dodi Jaya Wardana, SH., MH
Ahli Hukum Administrasi Negara, Universitas Muhammadiyah Gresik (UM Gresik)

Gerakan rakyat selalu menjadi indikator hidupnya demokrasi. Ketika masyarakat menyuarakan aspirasi secara terbuka dan terorganisir, sesungguhnya mereka sedang menjalankan mandat konstitusi: ikut serta mengawasi jalannya pemerintahan. Inilah yang tercermin dalam Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat, sebuah artikulasi aspirasi publik yang menyentuh isu fundamental bangsa: transparansi, demokrasi, hak asasi manusia, reformasi kelembagaan, dan keadilan sosial.

Sebagai Ahli Hukum Administrasi Negara, saya memandang gerakan ini berakar pada tiga pilar utama: transparansi, reformasi, dan empati. Transparansi menuntut keterbukaan pemerintah dalam setiap proses pengambilan keputusan publik. Reformasi menegaskan urgensi perubahan sistem yang selama ini dianggap kurang efektif dan bahkan menghambat tercapainya keadilan. Sedangkan empati menjadi pengingat bahwa negara tidak boleh abai terhadap penderitaan masyarakat; kebijakan publik harus lahir dari kemampuan memahami serta merasakan realitas hidup rakyat.

Ketiga pilar tersebut bukan sekadar jargon moral, melainkan prinsip administratif yang wajib dijalankan dalam negara hukum. Administrasi publik yang sehat selalu berpijak pada keterbukaan, perbaikan berkelanjutan, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat.

Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat bukanlah ekspresi emosional semata. Ia hadir sebagai inisiatif demokratis yang rasional dan terukur. Formulasi 17+8 mencerminkan penyusunan agenda yang jelas, sistematis, dan menyasar pokok permasalahan bangsa. Dari perspektif hukum administrasi, ini adalah bentuk partisipasi rakyat yang sah, sebagaimana dijamin dalam konstitusi.

Di titik inilah negara dituntut untuk merespons secara cepat dan tepat. Setiap keterlambatan hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah maupun parlemen.

Saya menyambut gerakan ini dengan optimisme kritis. Optimisme, karena suara rakyat yang kolektif dapat memperkuat kualitas demokrasi. Kritis, sebab tanpa keseriusan pemerintah dan DPR, aspirasi ini berisiko berhenti sebagai retorika tanpa implementasi.

Oleh karena itu, saya menekankan pentingnya langkah-langkah struktural yang nyata: memperkuat mekanisme checks and balances, mereformasi birokrasi yang lamban, serta memastikan perlindungan hak-hak dasar warga negara. Inilah jalan menuju pemerintahan yang bukan hanya responsif, tetapi juga akuntabel dan berkeadilan.

Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat adalah momentum berharga untuk menguji kedewasaan demokrasi kita. Jika negara mampu menanggapi dengan langkah nyata, maka gerakan ini dapat menjadi titik tolak bagi reformasi riil, memperkuat legitimasi pemerintahan, dan membangun kembali kepercayaan publik.

Harapan saya sederhana: agar pemerintah dan DPR tidak menganggapnya sebagai desakan sementara, melainkan sebagai alarm demokrasi yang harus direspons segera. Hanya dengan cara itu, Indonesia dapat melangkah lebih pasti menuju negara yang demokratis, transparan, dan berkeadilan.